Wednesday, June 18, 2008

PLURALISME, KEBEBASAN DAN PAHAM-PAHAM PARADOKS


Artikel yang sangat bagus dan logis. Bagus sekali...
Saya kutip dari akaldankehendak.com


Pluralisme, Kebebasan dan Paham-Paham Paradoks

by Imam Semar

Kalau kita mengamati sebuah karya seni lukis, bunga misalnya, maka untuk menikmatinya harus dilihat dari jarak yang tidak terlalu dekat sehingga detilnya terabaikan. Kalau terlalu dekat maka tidak menarik karena detilnya nampak jelas tidak ada. Untuk menghargai karya seni ini tidak diperlukan intelektual yang tinggi. Berbeda dengan bunga aslinya, semakin detail semakin menarik. Dari mulai bentuk makronya, kelopak bunga, benang sari, serbuk sari; kemudian detilnya sampai ke tingkat jaringan, sel, mitokondria, kromosom, gen, ribonucleic acid, DNA, protein, proses metabolisme dan seterusnya; semuanya memerlukan intelektualitas yang tinggi untuk bisa menghargainya. Seorang botanis akan mengalami kesulitan untuk menerangkan bagaimana nutrisi/makanan bisa sampai ke kepala putik pada lukisan bunga, karena si pelukis tidak akan menggambarkan secara mendetil bagian-bagian mikroskopis dari bunga. Itulah perbedaaan antara karya seni dan the real thing.

Hal seperti contoh bunga di atas berlaku untuk segala aspek seperti prinsip hidup atau isme. Suatu isme bisa berupa gagasan bisa juga hasil pengamatan yang diformulasikan. Suatu isme yang masih berupa gagasan, bisa terdengar indah, jika tidak dites, atau tidak diuji secara intelek. Pada tulisan berikut ini kita akan membahas secara cerdas paham-paham yang sedang populer di media massa, yaitu yang berkaitan dengan kebebasan.

Berapa banyak orang yang mempunyai kecerdasan untuk menyadari bahwa paham kebebasan adalah paham paradoks? Perkiraan saya, tidak banyak. Paling tidak, opini yang berhasil keluar ke media massa mencerminkan demikian. Pada jaman modern ini, ujung tombak penganut prinsip-prinsip yang bersifat paradoks biasanya mempunyai latar belakang pendidikan ilmu politik, sosial dan seni. Mereka ini adalah ampas yang tidak lolos dari saringan masuk untuk jurusan kedokteran atau teknik. Siswa yang pandai akan masuk ke jurusan kedokteran dan teknik. Dan oxymoron, biasanya masuk ke jurusan ilmu politik, sosial dan seni serta menjadi pendukung paham kebebasan, women liberation, feminist, pluralisme dan sejenisnya yang penuh dengan prinsip-prinsip paradoks.

Kata oxymoron saya gunakan dalam artikel ini untuk melengkapi pembahasan mengenai paradoks karena oxymoron adalah paradoks. Oxymoron berasal dari kata Yunani oxy = tajam, cerdas dan moron = tumpul, bebal. Cerdas-bebal, tajam-tumpul, bukan kah itu paradoks. Kata ini menggambarkan orang yang pandai berbicara tetapi bebal. Mungkin lebih tepat kalau disebut pseudooxy-moron. Tampak cerdas tapi bloon. Kita gunakan oxymoron saja yang lebih umum untuk menggantikan kata yang benar - pseudooxy-moron.

Saya yakin banyak diantara pembaca bukan terlahir untuk menjadi oxymoron, tetapi karena pendidikan dan lingkungan, maka anda menjadi oxymoron. Kalau anda paham mengenai isi tulisan ini, berarti anda telah meningkatkan intelektual anda dan tidak berhak memperoleh gelar oxymoron lagi. Bahkan bisa menggunakan kalimat: “prinsip anda mengandung paradoks” sebagai ungkapan yang halus sarkastik untuk menghina dan mengatakan bahwa “tingkat intelektual anda sangat rendah”. Selamat menikmati, semoga nantinya anda lebih pandai.

Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme

Dengan ilmu logika banyak prinsip yang bisa diidentifikasi sabagai paradoks atau self defeating principles. Paradoks ini banyak ditemui dalam kehidupan kita sehari-hari dipakai oleh orang yang katanya terpelajar. Kita akan bahas hal ini. Tetapi untuk membiasakan diri dengan ilmu logika dan sebelum masuk ke menu utama, saya akan perkenalkan dengan dua paradoks klasik yaitu Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme, sebagai menu pembuka.

Diceritakan ada seorang Crete (pulau Kreta) bernama Epimenides berkata: “Orang Crete selalu pembohong“. Ucapan ini adalah suatu kontradiksi yang akhirnya membatalkan nilai kebenaran pernyataan itu. Kalau Epimenides benar, maka dia bohong (berkata tidak benar). Oleh sebab itu pernyataannya tidak pernah benar dan tidak pernah mempunyai nilai kebenaran.

Ada lagi Pyrrhonisme. Pyrrhonisme adalah aliran skeptis yang beragukan semua hal. “Di dunia ini tidak ada yang pasti“. Tentunya anda pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat ini. Bahkan juga anda sendiri. Untuk membuktikan bahwa pernyataan ini sebuah paradoks, ajukan pertanyaan ini: “Apa kamu yakin?”.

Lucu bukan, kalau ada pernyataan: “Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti“. Perhatikan paradoks yang ada pada kata yang ditebalkan. Seseorang yang menjadikan keraguan pada semua hal di dalam hidup ini sebagai prinsip hidupnya, maka ia juga meragukan keraguannya sendiri.

Prinsip atau dalil semacam ini disebut paradoks atau self defeating principle. Dan menurut ilmu logika, prinsip seperti ini tidak punya nilai kebenaran. Dan prinsip seperti ini mempunyai konflik internal. Maksudnya, kalau kita menganut prinsip tersebut maka kita juga menganut paham penghapusan prinsip tersebut.

Sejak lama banyak artikel-artikel di koran, atau komentar di TV yang menggunakan prinsip yang mengandung paradoks di dalam opini nara sumbernya. Untuk membiasakan penggunaan logika, yang saya percaya bahwa pembaca jarang menggunakannya, kita akan bahas beberapa prinsip seperti ini sebelum menginjak pada topik kebebasan seperti judul artikel ini.

Paradoks “Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan”

Tentu anda sering mendengar ucapan: “Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan“. Ada beberapa varian dari dalil paradoks ini, tetapi intinya sama, misalnya: “Di dunia ini tidak ada yang absolut, semuanya relatif.” Dalil ini sering dimunculkan dalam perdebatan tafsir firman Tuhan. Karena namanya tafsir, opini pribadi, maka satu dengan yang lain bisa berbeda. Pihak yang salah (ngawur tafsirnya) bukannya mencari kebenaran, tetapi mencari dan meminta kompromi dengan melontarkan dalil ini.

Prinsip ini masuk dalam kategori paradoks. Kita bisa uji dengan menanyakan: “Apa benar bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang hakiki?“.

Kalau jawabnya “ya” berarti orang tersebut tahu hakiki kebenaran prinsip di atas atau dia adalah Tuhan. Jadi jawab pertanyaan di atas harus “tidak”. Artinya bahwa prinsip itu salah. Dan “bukan hanya Tuhan yang tahu hakiki kebenaran, tetapi juga manusia”.

Paradoks “Agree to disagree

Prinsip paradoks yang populer akhir-akhir ini: “Agree to disagree”. Prinsip ini juga digunakan pihak yang salah untuk mencari kompromi, bukan mencari kebenaran. Saya sempat mendengar ucapan Adnan Buyung Nasution di Metro TV beberapa waktu dalam rangka wawancara membela Ahmadiyah dua tahun lalu. Pewawancaranya, penyiar TV cantik Sandrina Malakiano. Pada akhir acara, bang Buyung menganjurkan (kepada kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah) untuk “agree to disagree“. Dan Sandrina mendukungnya.

Prinsip ini juga sifatnya paradoks. Kalau waktu itu mbak Sandrina menanyakan pada bang Buyung: “Anda dan Ahmadiyah seharusnya agree dong dengan disagreement MUI, FPI dan kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah lainnya. Jangan mereka yang harus mengikuti anda dan Ahmadiyah“; kalau bang Buyung dan Ahmadiyah mengikuti “agree to MUI disagreement” maka MUI dan kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah tidak perlu bergeming dari posisi mereka. Bingung ya? Problemnya Ahmadiyah dan bang Buyung tidak mau agree dengan disagreement dari MUI dan FPI.

Paradoks “Dilarang melarang” - berilah orang lain kebebasan

Dalil “jangan melarang” sering digunakan untuk membuka jalan untuk perbuatan yang tidak disukai oleh kelompok yang berseberangan. Dalihnya adalah kebebasan, liberalisme. Pada dasarnya prinsip ini juga paradoks. Kata JANGAN dan TIDAK BOLEH adalah kata melarang. Jadi kalau anda tanyakan:”Apakah anda tadi melarang?”. Atau: “Lho kok anda melarang saya untuk melarang“. Nah dia akan bingung. “Jangan melarang” adalah larangan juga. Bingung ‘kan? Memang self defeating principles membuat penggunanya bingung seperti orang tersesat.

Paradoks Pluralisme

Paradoks Pluralisme mengatakan bahwa “Semua agama/aliran pada hakekatnya sama”. Ini prinsip yang sering ditonjolkan JIL (Jaringan Islam Liberal), AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) bersama penganut pluralisme lainnya. Ada satu hal yang mereka lupa, yaitu: aliran yang memusuhi dan mau membasmi mereka, seperti FPI (Front Pembela Islam) juga seharusnya diperlakukan sama dan merupakan bagian masyarakat pluralis.

Aliran pluralisme sebenarnya menghendaki tatanan masyarakat yang tidak plural. Saya akan tunjukkan dengan pertanyaan ini. Mana bisa disebut (lebih) plural, lebih banyak keaneka-ragamnya?:

1. masyarakat yang hanya mengakomodasi aliran pluralisme.
2. masyarakat yang mengakomodasi aliral pluralisme, aliran pembasmi pluralisme, aliran membenci pluralisme, aliran yang bertentangan dengan pluralisme.

Kalau anda cukup waras, maka jawabannya adalah masyarakat yang terakhir. Apakah yang mengaku aliran pluralisme sesungguhnya menganut paham ini? Kalau benar maka mereka akan hancur karena mereka mengakomodasi lawannya yang boleh jadi termasuk yang brutal dan kejam. Oleh sebab itu paham pluralisme disebut paham paradoks.

Paradoks Kebebasan

Setelah pembaca terbiasa dengan sebagian ilmu logika, terutama paradoks, kita akan masuk ke menu utamanya. Sengaja saya sajikan menu pembuka karena perdebatan dengan logika biasanya pendek saja. Satu-dua kalimat cukup. Itu yang disebut perdebatan yang elegant, yang tidak perlu argumen berlembar-lembar untuk membuat orang mengerti.

Adakah kebebasan itu? Suatu pertanyaan valid bagi mereka yang mencari prinsip kebebasan. Secara logika, jawabnya ialah: “Tidak ada“. Kebebasan itu adalah gagasan yang pada hakikinya tidak ada. Buktinya:

Mari kita berasumsi bahwa perinsip berikut ini bisa dijadikan sebagai prinsip dalam kehidupan: “Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat menurut kehendaknya“.

Konsekwensi logisnya ialah: “Siapa saja bebas menghapuskan prinsip kebebasan tersebut“.

Lihat, hanya perlu 1 kalimat untuk membuktikan poin utamanya bahwa kebebasan tidak ada dan paham kebebasan adalah paradoks. Sangat elegan. Habis sudah pembicaraan kita.

Untuk memperpanjang cerita ini, saya mau mengakomodasi hal-hal sampingan yang non-issue, supaya pembaca tidak kecewa. Yang non-issue adalah saya harus menyediakan isme alternatif. Secara alamiah, pilihan itu sudah ada, yaitu paham keterbatasan, “siapa saja di dalam masyarakat harus dibatasi perilakunya”. Apakah ruang geraknya cukup luas atau sempit, itu urusan lain.

Pertanyaan berikutnya ialah: siapa yang berhak menentukan batas-batas, apa yang boleh dan yang tidak boleh? Pemerintah? Saya? Anda?

Kalau orang Betawi akan menjawab: “Emang lu siapa? Sok tahu dan sok ngatur-ngatur“. Intinya bahwa secara alamiah manusia enggan tunduk kepada entitas yang derajadnya sama; sama-sama manusia. Pemerintah tidak lebih pandai dan lebih tahu dari kita, karena elemen mereka juga sama seperti kita, yaitu manusia. Alam mengarahkan kita hanya ke satu pilihan, yaitu kepada sang Pemaksa. Prima kausa (sang Pencipta, the ultimate creator), juga sang Pemaksa mempunyai aturan untuk membatasi ruang gerak manusia. Setiap perbuatan, ada akibatnya. Ada hukuman bagi yang melanggar dan ada imbalan bagi yang tetap pada koridor moral dan prilaku yang ditetapkan oleh alam (baca: Tuhan). Ini adalah premis, asumsi dasar, yang mau-tidak mau harus digunakan oleh manusia dan masyarakat.

Pelanggaran atau invasi, agresi, bisa dari individu ke individu lain, individu ke masyarakat, masyarakat ke individu. Jenisnya bisa agresi/invasi fisik dan agresi/invasi non fisik. Kelompok Ahmadiah telah melakukan agresi non-fisik kepada kelompok Islam tradisionil dengan mengaku bagian dari Islam dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Jadi jangan salahkan kalau ada kelompok Islam tradisionil membalasnya secara fisik. Dewi Persik menggunakan baju dengan dada tersembul menantang (agresi non fisik) di tempat publik, jangan salahkan kalau ada yang terangsang dan mencoleknya.

Porno-aksi bukan freedom of expression yang tanpa konsekuensi. Mungkin kata yang lebih tepat adalah: freedom of expression sesungguhnya tidak bebas menerima konsekuensinya. Saya pernah melihat seekor kuda betina yang sedang birahi. Tidak jauh dari situ ada kuda jantan yang di kandangkan. Kuda jantan tersebut mengamuk, menendang-nendang kandangnya, sampai dia dilepaskan. Ketika dilepaskan dia langsung nyosor ke betina yang sedang birahi itu. Tahukah anda bagaimana melewati anjing penjaga jantan yang galak sekali? Dengan kain yang dibasahi oleh kencing anjing betina yang sedang birahi. Lemparkan saja kain itu. Anjing jantan itu akan sibuk dengan kain basah itu sementara anda bisa melewatinya dengan aman. Inti cerita; seksualitas adalah hal yang secara naluri sulit dikontrol ketika rangsangan sudah timbul. Bagi manusia, rangsangan itu bukan bermula dari bau saja tetapi jaga pandangan (juga pendengaran) dan khayalannya. Haruskah kita salahkan orang yang melakukan agresi fisik (dengan mencolek) Dewi Persik karena terangsang oleh cara berpakaian Dewi Persik? Mana yang sebab dan mana yang konsekuensi?

Kebebasan berbicara, freedom of speech, termasuk mempromosikan kebohongan. Orang yang tidak bersalah bisa dihukum mati karena kesaksian palsu. Banyak orang yang mati karena kebohongan George Bush dan Tony B-lair mengenai senjata pemusnah massanya Saddam Hussein. Bagaimana speech yang berisi kebencian dan agitasi untuk menghancurkan penganut aliran freedom of speech itu sendiri. Self defeating principle bukan? Itukah jalan yang benar?

Banyak slogan kebebasan-kebebasan lainnya, kebebasan beragama, kebebasan berusaha, kebebasan berbicara dan lain lain. Manusia tidak mungkin bebas bertindak. Secara fisik manusia tidak bisa melompat sampai ke bulan, bukan? Andaikata yang dimaksud adalah kebebasan sebatas (hmm… paradoks) kemampuan fisiknyapun tidak bisa lepas dari konsekuensinya. Itulah alam. Jangan lupa, karya seni tidak seindah barang aslinya - the real thing. Para oxymoron tidak akan bisa memperdayakan anda jika anda cukup jeli waras dan berakal.

(Jakarta, 13 Juni 2008)

* Imam Semar, pengelola blog Ekonomi Orang Waras dan Investasi dan KlubSaham.com. Artikel ini, yang juga diterbitkan di blog tersebut, telah disunting seperlunya tanpa mengubah kandungan isi maupun sudut pandang pengarangnya. Hak cipta ada pada penulisnya.

No comments: